Rabu, 30 Mei 2012

Fenomena Perempuan Jalanan

(Dimuat di Majalah Seroja Edisi 01/2012)
 
Surti menangis tersedu, menatap anaknya yang terbujur kaku. Di sebuah gubuk sempit pinggir kali yang ia kontrak bersama suaminya, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Si anak yang baru berusia 2 tahun meninggal, tak hanya karena mall nutrisi, tetapi juga sanitasi yang sangat buruk. Ditambah polusi yang harus merasuk ke tubuhnya saat ia digendong kesana kemari oleh ibunya. Surti adalah seorang pengamen jalanan yang seringkali terpaksa harus membawa anaknya berkeliling mencari penghidupan dengan menjajakan suara.
Berbicara tentang fenomena perempuan jalanan, memang miris. Masyarakat pun dibuat pro dan kontra karenanya.

“Ironis memang,” ujar Anto (35) seorang warga kota Solo m-Seroja. “Dalam satu sisi, kami kasihan jika tak memberi recehan. Di sisi lain, kami takut jika pemberian itu membangun sebuah anggapan bahwa mereka bisa hidup dengan menggantungkan diri dari mengamen.”
Ali (40) bahkan bersikap lebih tegas lagi. Warga kota Bandung itu bahkan mengatakan, bahwa ia tak akan sekalipun memberi para pengamen dan pengemis itu uang. “Bukan karena tak kasihan. Tetapi, saya telah memiliki program khusus untuk mencoba membantu mengatasi permasalahan mereka.”
Berbeda dengan Anto dan Ali yang memilih untuk tidak memberi jika ada pengamen atau pengemis yang minta-minta, Ibu Tuti (57) justru sebaliknya. Saat hendak bepergian jauh dan menggunakan kendaraan umum, beliau bahkan mengumpulkan recehan-recehan dan dimasukkan dalam dompet khusus. Jika tak ada recehan, beliau bahkan sengaja menukar uang ‘gedean’ dengan pecahan logam seratusan, dua ratusan dan limaratusan. “Buat pengamen di jalan. Kasihan,” ujarnya.

Tanggung Jawab Siapa?
Masyarakat boleh berpolemik. Baik yang memberi maupun yang memilih tidak memberi, semua memiliki alasan tersendiri. Jika mereka sama-sama peduli, tentunya kita tak perlu memperdebatkan mana yang benar dan mana yang salah. Nyata-nyata, kian hari, jumlah para perempuan yang turun ke jalan justru semakin bertambah. Berdasarkan data yang dilansir dari www.solopos.com tanggal 10/7/2011, jumlah Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) di kota Solo mencapai 1.427 jiwa. Sebagian di antaranya, memilih jalanan sebagai ajang mengais nafkah sehari-hari. Maka, pemandangan seperti yang terpapar di rubrik Potret, bukan lagi sebuah hal yang langka.
“Yang harus dicari sebenarnya akar permasalahannya,” ujar Retno Heny Pujiati, ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja. Menurut dia, mengapa perempuan bisa turun ke jalan. Mulai dari soal ekonomi, pendidikan, hingga keharmonisan keluarga.
Banyak di antara mereka yang merupakan korban dari kekerasan kekerasan dalam rumah tangga. Suami selingkuh atau kabur, atau suami tak bekerja. Ada juga yang karena sejak kecil memang sudah hidup di jalan, dan ketika besar, tak ada peningkatan derajat kehidupan. Yang jelas, jika bisa memilih, tentu tak ada yang kemudian memilih hidup di jalanan. Itu semua bukan keputusan yang mudah,” tandas Retno.
Sedangkan menurut Ayu Widowati, S.Sos, sekretaris Lembaga PPAP Seroja, sebenarnya perempuan yang turun ke jalan, merupakan korban dari kekerasan sistem. Penyebabnya, Ayu sepakat, sangat kompleks. Sayangnya, pemerintah sebagai pihak yang semestinya paling bertanggungjawab, sering menyelesaikan hal tersebut dengan penyelesaian yang dangkal. “Misalnya razia, menurut saya, razia ini bukan solusi. Bahkan bagi perempuan, dan juga anak-anak, bisa menimbulkan trauma psikologis tersendiri. Sayangnya, razia ini menjadi favorit, khususnya jika di kota akan kedatangan tamu, misalnya presiden. Orang-orang jalanan itu dianggap ngreget-ngregeti kota, jadi harus dibersihkan, itu kan artinya mereka dianggap sampah.”

Pemberdayaan Ekonomi
Mengentaskan WRSE, termasuk perempuan jalanan, harus melibatkan semua pihak, dengan pendekatan yang juga integral. Fokus pengentasan, bergantung pada akar permasalahan masing-masing. Jika masalahnya ekonomi, menurut Ganjar Widhi Yoga, M.Si, peneliti sekaligus staf pengajar di Universitas Slamet Riyadi, bisa diatasi dengan pembukaan lapangan pekerjaan atau aktivitas pemberdayaan ekonomi, yang berbarengan dengan sebuah penanaman kesadaran mental, antara lain bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Karena, tanpa adanya pemahaman semacam itu, jikapun ada program pengentasan ekonomi, bisa jadi mereka akan kembali ke jalan jika ternyata di profesi yang baru, ia mengalami kesulitan.
Hal tersebut juga diakui oleh Retno. Menurutnya, ada juga sebagian binaan LPPAP Seroja yang merasa tidak mampu di profesi barunya, kemudian kembali mengamen atau mengemis di jalan. Retno juga menemukan adanya para perempuan jalanan yang mengemis dengan membawa anak temannya. Tujuannya untuk membangkitkan belas kasihan. Untuk ‘imbal jasa’, si perempuan jalanan itu akan membagi hasil mengemisnya kepada ibu si anak yang ia gendong itu.
“Baru sebatas itu,” ujarnya. “Kalau soal ada sindikat yang memang mengorganisir para pengemis, selama hampir 10 tahun kami membersamai mereka, kami belum menemukan.”
Karena itu, merubah persepsi perempuan jalanan, memang menjadi sebuah pekerjaan yang sangat penting. Tak cukup hanya memberikan kail, tetapi juga mengajarkan, bahwa memancing itu memang butuh kesabaran, ketabahan, ketekunan, dan sebagainya. LPPAP Seroja, ditegaskan oleh Ayu, sedang merancang kurikulum tentang pendidikan karakter, yang salah satu tujuannya adalah merubah persepsi perempuan dan anak pinggiran untuk bergerak menuju karakter yang lebih positif.
Untuk pemberdayaan ekonomi sendiri, Seroja memiliki program penyaluran kredit mikro untuk perempuan marjinal yang menjadi binaannya. Namun, belum semua binaan Seroja mengikut pogram tersebut. “Baru sejumlah 150 orang,” ujar Ayu. Yang menarik, sistem yang dipakai oleh Seroja adalah sistem Tanggung Renteng. Dari 150 orang, dibentuklah kelompok-kelompok. Jika satu orang diberi pinjaman, maka kelompoknya itu yang menjadi jaminan. Saat ia tak bisa mengangsur, maka kelompoknya akan memikul tanggung jawab mengangsur.
“Sistem ini ternyata efektif,” ujar Ayu. “Kebersamaan terbangun. Jika ada yang meminjam dan tak mau mengangsur, kelompoklah yang akan menegurnya. Kelompok benar-benar sebagai jaminan, karena kredit ini memang tanpa agunan. Awalnya memang banyak yang macet, namun lama-lama lancar.” Menurut Ayu, kredit yang disalurkan mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 1.000.000,-.
Selain itu, Seroja juga menggulirkan program-program pelatihan kerja, seperti menjahit, pembuatan usaha ayam crispy dengan merk “Seroja Fried Chicken” yang rencananya ingin disfranchise-kan, pelatihan montir mesin yang bekerja sama dengan bengkel (ini khusus untuk binaan anak lelaki) dan sebagainya.

Jalan Mendaki Program Pengentasan
Sementara, jika akar permasalahannya adalah soal psikologis, seperti turun ke jalan karena suami selingkuh, tertekan ataupun menjadi korban kekerasan fisik lainnya, maka dibutuhkan program konseling. Sebenarnya, pemerintah sendiri telah memiliki beberapa program penanggulangan krisis pada perempuan. Misalnya dengan dibentuknya Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS), Sebuah konsorsium yang dikoordinasikan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan KB-Pemerintah Kota Surakarta. PTPAS terdiri dari penegak hukum, LSM, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, serta organisasi, yang peduli pada penanganan perempuan korban kekerasan berbasis gender dan anak korban kekerasan, yang semua berjumlah 40 lembaga.
“Sayangnya, banyak di antara lembaga yang telah menandatangani MoU, ternyata tak menjalankan tugasnya dengan baik,” tutur Retno lagi.
Selain itu, anggaran untuk program-program pengentasan, juga jauh dari memadai.
Politisasi program juga ditengarai terjadi di Surakarta. Misalnya, pernah ada program Pemberdayaan Perempuan dari Dinas Sosial. Ternyata, para penerima dana program tersebut adalah titipan dari beberapa fraksi di DPRD. Tentu saja LSM-LSM memprotes hal tersebut.
“Sering juga pemerintah membikin program, tetapi kurang efektif. Misalnya, ketika memberikan bantuan modal, ternyata yang dicari WRSE yang sudah merintis usaha. Ini, kan, sulit. Juga kadang WRSE hanya dikasih stimulus berupa bantuan dana, tetapi setelah itu ditinggal. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah pendampingan.”
Tampaknya, mengentaskan para perempuan jalanan untuk kembali ke lingkungan yang sebenarnya, memang menjadi sebuah PR besar. Bukan hanya pemerintah, tetapi melibatkan semua unsur, termasuk LSM, partai politik, dan masyarakat. Akan menjadi gerakan yang indah, jika Anto memilih tidak memberi kepada pengemis dengan alasan pemberian itu tak mendidik, diikuti dengan program pemberdayaan yang komprehensif dari pihak LSM maupun pemerintah. [Afifah Afra].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar