(Dimuat di Majalah Seroja Edisi 01/2012)
Surti menangis tersedu, menatap anaknya yang terbujur kaku. Di sebuah gubuk sempit pinggir kali yang ia
kontrak bersama suaminya, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Si anak yang baru berusia 2 tahun meninggal, tak hanya karena mall nutrisi, tetapi juga sanitasi yang
sangat buruk. Ditambah polusi yang harus merasuk ke tubuhnya saat ia digendong
kesana kemari oleh ibunya. Surti adalah seorang pengamen jalanan yang seringkali terpaksa harus membawa
anaknya berkeliling mencari penghidupan dengan menjajakan suara.
Berbicara
tentang fenomena perempuan jalanan, memang miris. Masyarakat pun dibuat pro dan
kontra karenanya.
“Ironis memang,” ujar Anto (35)
seorang warga kota Solo m-Seroja. “Dalam satu sisi, kami kasihan jika tak
memberi recehan. Di sisi lain, kami
takut jika pemberian itu membangun sebuah anggapan bahwa mereka bisa hidup
dengan menggantungkan diri dari mengamen.”
Ali (40) bahkan bersikap
lebih tegas lagi. Warga kota Bandung itu bahkan mengatakan, bahwa ia tak akan
sekalipun memberi para pengamen dan pengemis itu uang. “Bukan karena tak
kasihan. Tetapi, saya telah memiliki program khusus untuk mencoba membantu
mengatasi permasalahan mereka.”
Berbeda dengan Anto dan Ali yang memilih untuk tidak memberi jika ada pengamen atau pengemis yang
minta-minta, Ibu Tuti (57) justru sebaliknya. Saat hendak bepergian jauh dan
menggunakan kendaraan umum, beliau bahkan mengumpulkan recehan-recehan dan
dimasukkan dalam dompet khusus. Jika tak ada recehan, beliau bahkan sengaja
menukar uang ‘gedean’ dengan pecahan logam seratusan, dua ratusan dan
limaratusan. “Buat pengamen di jalan. Kasihan,” ujarnya.
Tanggung Jawab
Siapa?
Masyarakat boleh berpolemik. Baik yang memberi
maupun yang memilih tidak memberi, semua memiliki alasan tersendiri. Jika
mereka sama-sama peduli, tentunya kita tak perlu memperdebatkan mana yang benar
dan mana yang salah. Nyata-nyata, kian hari, jumlah para perempuan yang turun
ke jalan justru semakin bertambah. Berdasarkan data yang dilansir dari www.solopos.com
tanggal 10/7/2011, jumlah Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) di kota Solo
mencapai 1.427 jiwa. Sebagian di antaranya, memilih jalanan sebagai ajang
mengais nafkah sehari-hari. Maka, pemandangan seperti yang terpapar di rubrik
Potret, bukan lagi sebuah hal yang langka.
“Yang harus dicari sebenarnya akar
permasalahannya,” ujar Retno Heny Pujiati, ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan
dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja. Menurut dia, mengapa perempuan bisa turun ke
jalan. Mulai dari soal ekonomi, pendidikan, hingga keharmonisan keluarga.
“Banyak di antara mereka yang merupakan korban dari kekerasan kekerasan dalam rumah tangga. Suami selingkuh atau
kabur, atau suami tak bekerja. Ada juga yang karena sejak kecil memang sudah
hidup di jalan, dan ketika besar, tak ada peningkatan derajat kehidupan. Yang
jelas, jika bisa memilih, tentu tak ada yang kemudian memilih hidup di jalanan.
Itu semua bukan keputusan yang mudah,” tandas Retno.
Sedangkan menurut Ayu Widowati, S.Sos, sekretaris
Lembaga PPAP Seroja, sebenarnya perempuan yang turun ke jalan, merupakan korban
dari kekerasan sistem. Penyebabnya, Ayu sepakat, sangat kompleks. Sayangnya,
pemerintah sebagai pihak yang semestinya paling bertanggungjawab, sering
menyelesaikan hal tersebut dengan penyelesaian yang dangkal. “Misalnya razia,
menurut saya, razia ini bukan solusi. Bahkan bagi perempuan, dan juga
anak-anak, bisa menimbulkan trauma psikologis tersendiri. Sayangnya, razia ini
menjadi favorit, khususnya jika di kota akan kedatangan tamu, misalnya
presiden. Orang-orang jalanan itu dianggap ngreget-ngregeti
kota, jadi harus dibersihkan, itu kan artinya mereka dianggap sampah.”
Pemberdayaan Ekonomi
Mengentaskan WRSE, termasuk perempuan jalanan,
harus melibatkan semua pihak, dengan pendekatan yang juga integral. Fokus
pengentasan, bergantung pada akar permasalahan masing-masing. Jika masalahnya
ekonomi, menurut Ganjar Widhi Yoga, M.Si, peneliti sekaligus staf pengajar di
Universitas Slamet Riyadi, bisa diatasi dengan pembukaan lapangan pekerjaan atau aktivitas
pemberdayaan ekonomi, yang berbarengan dengan sebuah penanaman
kesadaran mental, antara lain bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di
bawah. Karena, tanpa adanya pemahaman semacam itu, jikapun ada program
pengentasan ekonomi, bisa jadi mereka akan kembali ke jalan jika ternyata di
profesi yang baru, ia mengalami kesulitan.
Hal tersebut juga
diakui oleh Retno. Menurutnya, ada juga sebagian binaan LPPAP Seroja yang
merasa tidak mampu di profesi barunya, kemudian kembali mengamen atau mengemis
di jalan. Retno juga menemukan adanya para perempuan jalanan yang mengemis
dengan membawa anak temannya. Tujuannya untuk membangkitkan belas kasihan.
Untuk ‘imbal jasa’, si perempuan jalanan itu akan membagi hasil mengemisnya
kepada ibu si anak yang ia gendong itu.
“Baru sebatas itu,”
ujarnya. “Kalau soal ada sindikat yang memang mengorganisir para pengemis,
selama hampir 10 tahun kami membersamai mereka, kami belum menemukan.”
Karena itu, merubah
persepsi perempuan jalanan, memang menjadi sebuah pekerjaan yang sangat
penting. Tak cukup hanya memberikan kail, tetapi juga mengajarkan, bahwa
memancing itu memang butuh kesabaran, ketabahan, ketekunan, dan sebagainya.
LPPAP Seroja, ditegaskan oleh Ayu, sedang merancang kurikulum tentang
pendidikan karakter, yang salah satu tujuannya adalah merubah persepsi
perempuan dan anak pinggiran untuk bergerak menuju karakter yang lebih positif.
Untuk pemberdayaan ekonomi sendiri, Seroja memiliki program
penyaluran kredit mikro untuk perempuan marjinal yang menjadi binaannya. Namun, belum semua binaan Seroja mengikut
pogram tersebut. “Baru sejumlah 150 orang,” ujar Ayu. Yang menarik, sistem yang dipakai oleh
Seroja adalah sistem Tanggung Renteng. Dari 150 orang, dibentuklah kelompok-kelompok. Jika satu orang diberi pinjaman, maka
kelompoknya itu yang menjadi jaminan. Saat ia tak bisa mengangsur, maka kelompoknya
akan memikul tanggung jawab mengangsur.
“Sistem ini ternyata efektif,” ujar Ayu. “Kebersamaan terbangun. Jika
ada yang meminjam dan tak mau mengangsur, kelompoklah yang akan menegurnya. Kelompok benar-benar sebagai jaminan, karena kredit ini memang tanpa
agunan. Awalnya memang banyak yang
macet, namun lama-lama lancar.”
Menurut Ayu, kredit yang disalurkan mulai
dari Rp 200.000 hingga Rp 1.000.000,-.
Selain itu, Seroja juga menggulirkan
program-program pelatihan kerja, seperti menjahit, pembuatan usaha ayam crispy
dengan merk “Seroja Fried Chicken” yang rencananya ingin disfranchise-kan,
pelatihan montir mesin yang bekerja sama dengan bengkel (ini khusus untuk
binaan anak lelaki) dan sebagainya.
Jalan
Mendaki Program Pengentasan
Sementara, jika akar
permasalahannya adalah soal psikologis, seperti turun ke jalan karena suami
selingkuh, tertekan ataupun menjadi korban kekerasan fisik lainnya, maka
dibutuhkan program konseling. Sebenarnya, pemerintah sendiri telah memiliki beberapa program
penanggulangan krisis pada perempuan. Misalnya dengan dibentuknya Pelayanan
Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS), Sebuah konsorsium
yang dikoordinasikan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan KB-Pemerintah Kota
Surakarta. PTPAS terdiri dari penegak hukum, LSM, Rumah
Sakit Pemerintah dan Swasta, serta organisasi, yang
peduli pada penanganan perempuan korban kekerasan berbasis gender dan anak
korban kekerasan, yang semua berjumlah 40 lembaga.
“Sayangnya, banyak
di antara lembaga yang telah menandatangani MoU, ternyata tak menjalankan
tugasnya dengan baik,” tutur Retno lagi.
Selain itu,
anggaran untuk program-program pengentasan, juga jauh dari memadai.
Politisasi program juga ditengarai terjadi di
Surakarta. Misalnya, pernah ada program Pemberdayaan Perempuan dari Dinas
Sosial. Ternyata, para penerima dana program tersebut adalah titipan dari
beberapa fraksi di DPRD. Tentu saja LSM-LSM memprotes hal tersebut.
“Sering juga pemerintah membikin program,
tetapi kurang efektif. Misalnya, ketika memberikan bantuan modal, ternyata yang
dicari WRSE yang sudah merintis usaha. Ini, kan, sulit. Juga kadang WRSE hanya
dikasih stimulus berupa bantuan dana, tetapi setelah itu ditinggal. Yang
dibutuhkan sebenarnya adalah pendampingan.”
Tampaknya, mengentaskan para perempuan jalanan
untuk kembali ke lingkungan yang sebenarnya, memang menjadi sebuah PR besar.
Bukan hanya pemerintah, tetapi melibatkan semua unsur, termasuk LSM, partai
politik, dan masyarakat. Akan menjadi gerakan yang indah, jika Anto memilih
tidak memberi kepada pengemis dengan alasan pemberian itu tak mendidik, diikuti
dengan program pemberdayaan yang komprehensif dari pihak LSM maupun pemerintah.
[Afifah Afra].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar